• UTU News
  • 01. 08. 2019
  • 0
  • 2357

“Ciptakan Prodi Yang Mampu Merespon Potensi Daerah”

Oleh:

Prof. Dr. Jamaluddin Idris, M.Ed

 

“Ketika deklarasi Perguruan Tinggi (PT) di Bali, Presiden menginginkan setiap Perguruan Tinggi (PT) perlu ada  Program Studi (Prodi)  yang dekat dengan pasar”, begitu saran Presiden yang dikutip Prof. Jamaluddin.  Tahun 2025, diprediksi ada dua juta profesi akan muncul yang saat ini belum ada,  sehingga prodi tersebut dapat merespon sesuatu yang belum ada saat ini, dan berpikir jauh ke depan. Artinya perlu menciptakan prodi yang mampu merespon potensi daerah. Dalam KKNI itu disebutkan bahwa kalau setiap Perguruan Tinggi membuat kurikulum harus diawali dengan membuat profil prodi.

            Ketika kita menyampaikan profil prodi, tentunya berbicara tentang produknya apa, sehingga mahasiswa begitu selesai dari Perguruan Tinggi bisa bekerja dimana, bidang apa. Misalnya, satu prodi itu tentu ada tiga profil lulusannya  nanti semua mata kuliah pembelajaran tersebut akan mengarah kepada profil prodi dimaksud, sehingga mata kuliah dapat disesuaikan dan tidak musti mata kuliah yang sifatnya umum, misalnya, Fakultas Ekonomi (FE) konsentrasi kepada bisnis online, berarti alumni bisa menjadi pengembang pasar – pasar online atau online marketing. Setelah ada profil baru kemudian melahirkan kurikulum, mata kuliahnya, dan RPS-nya sampai kepada evaluasi. Jangan hanya prodi dibuat tetapi tidak sesuai dengan mata kuliahnya. Selama ini yang ada kita lakukan adalah  mata kuliah pengalaman dosen sebelumnya. Seharusnya sudah saatnya  Perguruan Tinggi melahirkan mata kuliah yang bisa menjangkau ke depan, bukan mempertahankan mata kuliah yang ‘saya bisa ajarin mahasiswa’.

            Itu yang harus dikembangkan sehingga alumni kita itu betul-betul bisa menjadi potensi dan bermanfaat bagi daerah, dan harus dipikirkan segera di Universitas Teuku Umar (UTU). Tahun 2018 Dikti menyediakan 22 sains technopark namun yang terserap hanya Sembilan. Berarti ada 13 sains technopark yang dari Dikti itu, tidak terserap, mungkin Perguruan Tinggi  tidak siap. Saya pernah ke Universitas Gajah Mada (UGM) dan di UGM ada Pagi Laran, jadi daerah Pagi Laran itu, UGM mengembangkan coklat sekitar 200 hektar  lebih—lalu plasma milik masyarakat itu dibina oleh UGM.

            Lahan UGM itu juga menyediakan pabrik coklat, membuat coklat hingga jadi, sehingga coklat tersebut bisa menjadi kualitas ekspor. “Jadi masyarakat bisa menjual coklatnya ke UGM, lalu UGM membuat koperasi, sehingga harga coklat disana selalu standar. Tidak ada tengkulak yang main disitu, semua sudah dimenet oleh UGM bahkan ada testimony dari masyarakat pemilik tanah sendiri yang plasmanya bergabung dengan UGM itu malah bisa menyekolahkan anaknya ke ITP, ke UGM bahkan ada yang ke luar negeri, karena mereka benar-benar petani coklat yang harganya tidak dipermainkan. “Itu salah satu sains technopark yang dikembangkan UGM bidang coklat, dan UGM itu juga bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, dengan perusahaan-perusahaan  yang berkualitas ekspor, sehingga dosen-dosen UGM itu menjadi pekerja disana termasuk pakarnya dan yang menjadi direkturnya  termasuk dosen UGM. 

            Kemudian ada ahli tanah dan ahli marketing bekerjasama dengan UGM untuk pengembangan kebun coklat tersebut. Selain dosen mengajari teori langsung bisa mempraktekkan-nya, sehingga teman-teman dosen itu tidak hanya menghabiskan waktu di kampus semata, tidak hanya terlalu banyak minta SKS mengajar. Seperti UTU yang sudah memiliki University Farm (UF), itu kesempatan baik sekali mengembangkan. Intinya, UTU perlu mengejar technopark. Terserah mau kembangkan apa, technopark bidang pertanian misalnya, sehingga bisa mendorong masyarakat, menghidupkan ekonomi masyarakat, sehingga kahediran UTU betul-betul sangat dibutuhkan masyarakat. ‘UTU harus kejar sains technopark’.

Dulu kita pernah jaya dengan cengkeh lalu gagal. Kita jangan sampai gagal lagi seperti dengan cengkeh dulu. Di  Kabupaten Aceh Tengah dengan ibukota Takengon adalah wilayah pengembangan kopi. Pengembangan kopi Takengon saat ini adalah inisiatif masyarakatnya, sementara peran perguruan tinggi belum terlihat di Takengon. Masyarakat Takengon tanam kopi, memasarkan kopi, membuat maket kopi itu semuanya dilakukan secara alamiah tanpa sentuhan ilmiah sedikitpun, maka kehadiran perguruan tinggi sangat-sangat dibutuhkan, sehingga mahasiswa dalam melahirkan skripsinya kalau terkait dengan ekonomi harus mampu sampai kepemasarannya. Perguruan tinggi termasuk UTU perlu pertegas kepada mahasiswa dalam menyusun skripsi. Kalau mahasiswa mengambil bidang pertanian, skripsinya harus pertanian.

Di Aceh Tengah itu hara tanah sudah menurun, makanya UGM  siap menjadi pendamping. Dan Rektor UGM sudah pernah menyatakan kesiapannya menjadi pendamping kepada saya. Kehadiran perguruan tinggi sangat penting di Aceh Tengah. Sekarang ini penambahan prodi yang sifatnya vokasi harus menjadi prioritas, agar dalam meraih masa depan itu lebih dekat dan mudah. Persoalan lulusan akademik sudah banyak sekali sekarang ini, apalagi bidang keguruan itu suduh mencukupi sekarang. Mulai sekarang, FKIP lebih banyak kepada PPG saja, pengembangan profesi. “Pendidikan itu adalah usaha sadar. Usaha + awalan-per + akhiran-an sehingga menjadi  perusahaan. Maka pendidikan itu perusahaan. Pendidikan itu adalah perusahaan. Perusahaan ada produk yang dihasilkan. Mungkin produk kita itu jasa, tetapi jasa yang benar-benar bisa dipakai.

Prof. Dr. Jamaluddin Idris, M.Ed adalah Guru Besar UIN Ar-Raniry-Banda Aceh dan  Koordinator Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta) Wilayah XIII Aceh (Periode 2013-2017)

Lainnya :